Pertanyaan:
Saya menelaah tentang biografi Imam Al Bukhari pada kitab Siyar A’lam An Nubala. Ketika membaca tentang wafatnya beliau, saya menjumpai perkataan yang sangat mengganggu hati saya. Dalam kitab tersebut Imam Adz Dzahabi berkata:
وقال أبو علي الغساني: أخبرنا أبو الفتح نصر بن الحسن السكتي السمرقندي، قدم علينا بلنسية عام أربع وستين وأربع مائة، قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الأعوام فاستسقى الناس مرارا، فلم يسقوا، فأتى رجل صالح معروف بالصلاح إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني رأيت رأيا أعرضه عليك.
قال: وما هو؟
قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري، وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا.
قال: فقال القاضي: نعم، ما رأيت.
فخرج القاضي والناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند نحو ثلاثة أميال. هـ.
قال: وما هو؟
قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري، وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا.
قال: فقال القاضي: نعم، ما رأيت.
فخرج القاضي والناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند نحو ثلاثة أميال. هـ.
“Abu Ali Al Ghassani berkata, Abul Fath Nasr bin As Sikti As Samarqandi mengabarkan kepadaku: Kami datang dari Valencia pada tahun 464 H. Ketika itu selama beberapa tahun di Samarkand tidak pernah turun hujan. Maka orang-orang pun shalat istisqa berkali-kali, namun hujan belum juga turun. Maka seorang lelaki yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi Qadhi kota Samarkand,
ia berkata kepada sang Qadhi: “Saya punya usul yang akan saya sampaikan kepada anda”
Qadhi berkata: “Apa itu?”
lelaki shalih berkata: “Menurutku sebaiknya anda keluar bersama orang-orang menuju kubur Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak. Kita shalat istisqa di samping kubur beliau, mudah-mudahan Allah menurunkan hujan untuk kita”.
Qadhi berkata: “Baiklah, aku setuju”.
Maka keluarlah sang Qadhi Samarkand dengan orang-orang menuju kubur Imam Al-Bukhari, lalu shalat istisqa di sana. Orang-orang pun yang menangis di samping kubur, mereka juga meminta syafa’at kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak sekitar tujuh hari. Tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat pulang ke Samarkand karena banyak dan derasnya hujan. Padahal jarak antara Samarqand dan Kharatnak sekitar tiga mil“. (selesai nukilan)
Sebenarnya saya tidak heran dengan kisah ini, karena banyak orang yang pergi lebih jauh dari itu dan mereka bukan meminta hujan kepada Allah, namun malah meminta hujan kepada mayat yang di dalam kubur! Semoga Allah menjauhkan saya dari perbuatan demikian. Tapi yang saya herankan adalah bahwa Imam Adz Dzahabi menyebutkan kisah yang merupakan bid’ah yang munkar ini, lalu beliau tidak mencelanya dan tidak memberi catatan sedikitpun. Hal ini bertentangan dengan metode beliau yang beliau pakai dalam kitab As Siyar, yaitu betapa banyak beliau mengomentari riwayat-riwayatnya misalnya dengan perkataan: “Menurutku, kisah ini batil dan kedustaan yang nyata”, “Perkataan ini tidak benar dan keji”, “Perkataan ini perlu dikritisi”, “Yang benar adalah sebaliknya”, “Hal ini menyelisihi sunnah”, “Semoga Allah menimpakan kejelekan kepada orang yang mematikan sunnah dan atsar nubuwah”, “Riwayat ini telah menghidupkan kesesatan”, atau perkataan semisal yang menunjukkan bahwa beliau menentang riwayat yang berisi perkataan atau perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran. Namun ketika meriwayatkan kisah di atas beliah tidak berhenti untuk berkomentar walau satu huruf pun. Apakah yang kemungkinan yang menyebabkan beliau diam terhadap kebid’ahan tersebut yang dapat menjerumuskan kepada syirik akbar? Semoga Allah menjaga kita dari ketergelinciran.
Semoga Allah memberkahi ilmu anda, dan atas apa yang anda sampaikan kepada saya dan kepada kaum muslimin semoga Allah membalasnya dengan lebih baik.
Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab:
Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, keluarganya serta para sahabatnya. Amma ba’du,
Semoga Allah mencintai Anda atas apa yang engkau cintai dari kami. Dan aku berterima kasih kepada anda, karena telah menghubungiku. Semoga Allah memberi kita taufiq untuk dapat istiqamah pada apa yang diridhai dan dicintai oleh Allah.
Kemudian kami ingin menjelaskan kepada anda, saudaraku yang mulia, apa yang mengganggu pikiran anda itu benar adanya. Apa yang terkandung dalam kisah tersebut jelas-jelas bertentangan dengan agama kita dan merusak kemurnian tauhid kita kepada Rabbil Alamin. Justru kepada Allah lah kita memintakan ampunan bagi orang-orang yang sudah mati, dan kepada-Nya lah kita memohon kebaikan bagi orang-orang yang masih hidup. Dan kami telah menjelaskan tentang hukum berdoa di sisi kubur pada fatwa nomor 52015.
Adapun tentang nukilan Imam Adz Dzahabi yang janggal tersebut, itu memang benar terdapat pada kitab-kitabnya, dan ini memang mengherankan. Karena beliau, seorang ulama besar, sungguh telah mengingkari perbuatan semacam ini. Andai beliau tidak menukil riwayat semacam itu, itulah yang lebih baik.
Sebagai peringatan yang perlu digaris bawahi, hendaknya janganlah terpedaya dengan nukilan-nukilan janggal yang berasal dari Adz Dzahabi ataupun ulama Islam yang lain. Kami jelaskan kepada anda, yang bisa menjadi dalil adalah apa yang ditetapkan oleh nash-nash syariat, baik Al Qur’an atapun Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian pemahaman yang benar terhadap nash-nash tersebut, yaitu pemahaman para sahabat dan yang mengikuti mereka. Karena merekalah tiga generasi yang terbaik dalam Islam. Sedangkan perkataan ulama itu membutuhkan dalil dan bukan dijadikan dalil. Sebagaimana telah kami jelaskan dalam fatwa sebelumnya yang khusus membahas hal ini.
Khusus tentang Imam Adz Dzahabi rahimahullah, jika seseorang membaca kitab biografi dan sejarah yang ditulisnya, yaitu kitab Siyar A’lamin Nubala, akan mendapati banyak riwayat sebagaimana yang telah diingkari oleh penanya dan penanya telah benar dengan pengingkarannya. Dengan adanya riwayat-riwayat ini, sebagian orang-orang sufi mengumpulkan nukilan-nukilan janggal dari Adz Dzahabi ini kemudian memberi komentar tambahan. Diantaranya kitab Al Barakah Wat Tabarruk Min Dzahabiyyat.
Untuk itu perlu kami jelaskan, benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman Al ‘Ulwan dalam kitab beliau yang berjudul Ithaf Ahlil Fadhl Wal Inshaf Bi Naqdhi Kitab Ibnil Jauzi, kitab ini adalah sebuah bantahan terhadap syubhat dari komentar-komentar As Saqqaf terhadap kitab Ibnul Jauzi. Syaikh Sulaiman berkata:
والذهبي ـ عفا الله عنه ـ عنده تساهل في نقل مثل هذه الحكاية وأشباهها دون تعقب لها، وقد قرأت كتابه: السير ـ فرأيت فيه أشياء يتعجب منها، كيف يذكرها ولا يتعقبها؟ مع أن بعضها مما يناقض ما بعث الله به محمدا صلى الله عليه وسلم، فكان الأولى بالذهبي ـ رحمه الله ـ ردها وإبطالها، أو عدم ذكرها، لأنها تخالف مذهب السلف، وهو واحد من علماء السلف الذين خدموا هذا الدين بالمصنفات الكثيرة، وقد رأيت بالاستقراء أهل السير والتواريخ يتساهلون في النقل، والله المستعان
“Adz Dzahabi, semoga Allah mengampuni beliau, ia telah bermudah-mudah dan membuat syubhat dalam menukil kisah seperti ini, tanpa memberikan tanggapan terhadapnya. Saya telah membaca kitabnya, yaitu As Siyar, dan saya dapati banyak hal yang mengherankan. Mengapa beliau menyebutkannya dan tidak menanggapinya? Padahal sebagiannya termasuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam yang diutus oleh Allah. Semestinya Adz Dzahabi rahimahullah membantah dan mengingkarinya, atau minimal tidak menyebutkan riwayat-riwayat tersebut. Karena hal tersebut bertentangan dengan mazhab salaf. Beliau sendiri adalah salah satu ulama salaf yang melayani agama ini dengan tulisan-tulisan beliau yang banyak. Namun saya memang telah meneliti bahwa ternyata penulis kitab-kitab sejarah sering bermudah-mudah dalam menukil riwayat. Wallahul musta’an”. [sampai di sini perkataan Syaikh Sulaiman]
Selain itu kami perlu tekankan di sini bahwa Adz Dzahabi rahimahullah dan para ulama yang diakui keilmuannya tidak menganggap bolehnya bertawassul dan bertabarruk dengan jasad mayat di dalam kubur. Dalam hal ini yang mereka bahas adalah tentang berdoa di tempat turunnya berkah dan rahmat. Oleh karena itu ketika Adz Dzahabi membawakan perkataan dari Ibrahim Al Harbi yang berbunyi:
قبر معروف الترياق المجرب
“Kuburan Ma’ruf Al Kharki adalah obat yang mujarab”
Adz Dzahabi rahimahullah mengomentari:
يريد إجابة دعاء المضطر عنده، لأن البقاع المباركة يستجاب عندها الدعاء، كما أن الدعاء في السحر مرجو، ودبر المكتوبات، وفي المساجد بل دعاء المضطر مجاب في أي مكان اتفق
“Yang dimaksud adalah terkabulnya doa di samping kuburnya. Karena sebidang tanah yang diberkahi membuat doa dikabulkan di sana. Sebagaimana doa di waktu sahur dikabulkan, juga doa di ujung shalat, doa di masjid bahkan doa dalam keadaan terdesak akan dikabulkan dimanapun tempat yang disepakati”
Imam Asy Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfatu Adz Dzakirin, ketika menjelaskan perkataan Ibnul Jauzi yang terdapat dalam kitab Hisnul Hushain, yaitu Ibnul Jauzi berkata:
وجرب استجابة الدعاء عند قبور الصالحين
“Terkabulnya doa di sisi kubur orang shalih”
Asy Syaukani menjelaskan:
وجه ذلك مزيد الشرف ونزول البركة، وقد قدمنا أنها تسري بركة المكان على الداعي، كما تسري بركة الصالحين الذاكرين الله سبحانه على من دخل فيهم ممن ليس هو منهم، كما يفيده قوله صلى الله عليه وسلم: هم القوم لا يشقى بهم جليسهم
“Hal tersebut dikarenakan adanya tambahan keutamaan dan turunnya berkah di sana. Telah kami jelaskan bahwa hal tersebut bisa mengalir pada orang-orang yang berdoa di sana. Sebagaimana berkah para ulama yang shalih juga mengalir pada orang-orang yang datang ke majelis mereka, meskipun yang datang bukan termasuk orang shalih. Sebagaimana salah satu makna dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Para ulama, merekalah orang-orang yang jika membuat majelis, maka orang-orang yang hadir di dalamnya tidak akan kehausan‘”
لكن ذلك بشرط أن لا تنشأ عن ذلك مفسدة، وهي أن يعتقد في ذلك الميت ما لا يجوز اعتقاده، كما يقع لكثير من المعتقدين في القبور، فإنهم قد يبلغون الغلو بأهلها إلى ما هو شرك بالله عز وجل، فينادونهم مع الله ويطلبون منهم ما لا يطلب إلا من الله عز وجل، وهذا معلوم من أحوال كثير من العاكفين على القبور، خصوصا العامة الذين لا يفطنون لدقائق الشرك، وقد جمعت في ذلك رسالة مطولة سميتها: الدر النضيد في إخلاص التوحيد
“Namun, hal tersebut disyaratkan tidak terjadi kerusakan di dalamnya. Kerusakan yang dimaksud adalah memiliki keyakinan yang tidak boleh diyakini berkaitan dengan si mayit, sebagaimana yang banyak terjadi pada orang-orang yang berdoa di sisi kubur. Mereka terkadang berlebihan terhadap si mayit yang ada di dalam kubur sampai tergolong sesuatu yang merupakan kesyirikan. Selain berdoa dengan memanggil nama Allah, mereka juga memanggil nama si mayit. Mereka juga meminta kepada si mayit, yang permintaan itu sejatinya hanya dapat dikabulkan oleh Allah semata. Ini fakta yang terjadi pada kebanyakan orang sering yang beri’tikaf di kuburan. Terutama orang-orang awam yang mereka tidak memahami tentang kesyirikan secara terperinci. Dan saya telah membahas fenomena ini dalam sebuah tulisan yang saya beri judul Ad Darr An Nadhid Fii Ikhlasi At Tauhid” [sampai di sini perkataan Asy Syaukani]
Walaupun Asy Syaukani di atas jelas telah memberikan syarat atas bolehnya berdoa di sisi kubur orang shalih, namun ketahuilah sesungguhnya pembolehan ini sendiri tidak tepat dan menyelisihi sunnah dan menyelesihi riwayat-riwayat yang shahih dari salafus shalih yang merupakan generasi terbaik umat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan secara rinci permasalahan ini dalam kitabnya Iqtidha Shiratil Mustaqim:
إن قيل: قد نقل عن بعضهم أنه قال: قبر معروف الترياق المجرب. وروي عن معروف أنه أوصى ابن أخيه أن يدعو عند قبره. ونقل المروزي عن جماعات بأنهم دعوا عند قبور جماعات من الأنبياء والصالحين. ….. وذكر أشياء من هذا النحو إلى أن قال: وقد أدركنا في أزمامنا وما قاربها من ذي الفضل عند الناس علما وعملا من كان يتحرى الدعاء عندها والعكوف عليها، وفيهم من كان بارعا في العلم، وفيهم من له عند الناس كرامات، فكيف يخالف هؤلاء؟ وإنما ذكرت هذا السؤال مع بعده عن طريق أهل العلم والدين، لأنه غاية ما يتمسك به القبوريون.
“Kalau ada orang yang berkata:
“Dinukil oleh sebagian ulama bahwa Ibrahim Al Harbi mengatakan: ‘Kuburan Ma’ruf Al Kharki adalah obat yang mujarab’. Dan diriwayatkan pula dari Ma’ruf Al Kharki bahwa ia mewasiatkan kepada saudaranya agar saudaranya tersebut berdoa di sisi kubur beliau. Al Marwazi juga meriwayatkan dari sekelompok ulama bahwa mereka pernah berdoa di sisi kubur beberapa orang Nabi dan orang shalih”
Lalu orang ini terus menyebutkan alasan-alasan semisal, hingga ia berkata:
“Saya lihat di zaman kita ini dan beberapa zaman sebelum ini, ada tokoh agama yang memilih untuk berdoa di sisi kuburan dan beri’tikaf di sana. Diantara mereka itu ada yang ilmunya sangat mumpuni, ada juga yang memiliki karomah, masak sih kita menentang mereka? Sungguh saya bertanya hal ini karena demikianlah yang diamalkan orang para tokoh agama, dan inilah sebenarnya alasan pamungkas yang dipegang oleh orang-orang yang beribadah di kuburan”
، قلنا: الذي ذكرنا كراهته لم ينقل في استحبابه فيما علمناه شيء ثابت عن القرون الثلاثة التي أثنى عليها رسول الله صلى الله عليه و سلم حيث قال: خير أمتي: القرن الذي بعثت فيه ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
“Maka kita jawab pertanyaan ini:
“Alasan kami mengharamkan berdoa di sisi kuburan adalah karena sepengetahuan kami, sama sekali tidak terdapat anjurannya dalam riwayat-riwayat shahih dari tiga generasi terbaik umat Islam yang di puji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya: ‘Sebaik-baik umat adalah generasi yang aku diutus kepadanya (para sahabat), kemudian setelahnya (para tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in)’”
مع شدة المقتضي عندهم لذلك لو كان فيه فضيلة، فعدم أمرهم وفعلهم لذلك مع قوة المقتضي لو كان فيه فضل يوجب القطع بأن لا فضل فيه، وأما من بعد هؤلاء فأكثر ما يفرض أن الأمة اختلفت فصار كثير من العلماء والصديقين إلى فعل ذلك، وصار بعضهم إلى النهي عن ذلك، فإنه لا يمكن أن يقال اجتمعت الأمة على استحسان ذلك لوجهين:
أحدهما: أن كثيرا من الأمة كره ذلك وأنكره قديما وحديثا
الثاني: أنه من الممتنع أن تتفق الأمة على استحسان فعل لو كان حسنا لفعله المتقدمون ولم يفعلوه، فإن هذا من باب تناقض الإجماعات، وهي لا تتناقض، وإذا اختلف فيه المتأخرون فالفاصل بينهم هو الكتاب والسنة وإجماع المتقدمين نصا واستنباطا، فكيف ـ والحمد لله ـ لا ينقل هذا عن إمام معروف ولا عالم متبع؟ بل المنقول في ذلك إما أن يكون كذبا على صاحبه، وإما أن يكون المنقول من هذه الحكايات عن مجهول لا يعرف، ونحن لو روي لنا مثل هذه الحكايات المسيبة أحاديث عمن لا ينطق عن الهوى، لما جاز التمسك بها حتى تثبت، فكيف بالمنقول عن غيره؟.
“Karena mereka umat terbaik, maka konsekuensinya mereka sangat di tuntut untuk mengerjakan hal tersebut, yaitu berdoa di sisi kuburan, andai memang berdoa di sisi kuburan itu memiliki keutamaan. Namun nyatanya mereka tidak pernah memerintahkan ataupun melakukannya. Ini menunjukkan bahwa berdoa di sisi kuburan tidak memiliki keutamaan sama sekali. Adapun orang-orang setelah tiga generasi tadi, banyak diantara mereka mengklaim bahwa hal ini merupakan khilafiyyah, dengan alasan sebagian ulama dan orang shalih melakukannya dan sebagian lagi melarang. Dari sini, kita katakan bahwa tidak mungkin disepakati (ijma’) bolehnya menganggap baik perbuatan ini, dengan 2 alasan:
- Banyak ulama yang telah melarang dan mengingkari, baik ulama dahulu maupun ulama masakini.
- Andaikan perbuatan ini baik, sungguh orang-orang terdahulu telah melakukannya, dan fakta mengatakan mereka tidak melakukannya (Ini menunjukkan ijma salafus shalih, pent.). Andai disepakati (ijma’) bolehnya perbuatan ini oleh orang-orang setelah mereka, maka sungguh, ijma itu tidak mungkin bertentangan. Jika orang-orang muta’akhirin yang hidup setelah tiga generasi tadi berselisih pendapat maka tentu penengah di antara mereka ada Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ salafus shalih, yang diambil dari nash atau dari istimbath.
Selain itu, andaikan perbuatan ini dibolehkan, mengapa tidak diriwayatkan para imam yang ma’ruf juga tidak diriwayatkan oleh para ulama yang memiliki banyak pengikut? Namun justru perbuatan ini diriwayatkan dalam riwayat-riwayat yang dusta, atau diriwayatkan dalam hikayat-hikayat yang majhul. Kemudian, andaikan memang ada hadits tentang perbuatan ini yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang sabda beliau bisa jadi hujjah, ini saja perlu kita pastikan keshahihannya, maka bagaimana lagi dengan riwayat-riwayat yang diriwayatkan bukan dari beliau?”
ومنها: ما قد يكون صاحبه قاله أو فعله باجتهاد يخطئ ويصيب، أو قاله بقيود وشروط كثيرة على وجه لا محذور فيه، فحرف النقل عنه.
ثم سائر هذه الحجج دائرة بين نقل لا يجوز إثبات الشرع به، أو قياس لا يجوز استحباب العبادات بمثله، مع العلم بأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يشرعها، وتركه مع قيام المقتضي للفعل بمنزلة فعله، وإنما يثبت العبادات بمثل هذه الحكايات والمقاييس من غير نقل عن الأنبياء النصارى وأمثالهم، وإنما المتبع في إثبات أحكام الله: كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وسبيل السابقين أو الأولين، لا يجوز إثبات حكم شرعي بدون هذه الأصول الثلاثة، نصا واستنباطا بحال
“Alasan lain, terkadang ahli ilmu yang menyatakan kebolehannya atau melakukannya, ia berbuat demikian dengan ijtihadnya. Dan ijtihad itu terkadang salah dan terkadang benar. Atau terkadang, mereka sebenarnya membolehkan dengan banyak syarat-syarat hingga perbuatan itu menjadi tidak terlarang, namun dalam kesempatan itu ia menukil begitu saja tanpa menyebutkan syarat-syaratnya.
Kemudian, alasan-alasan yang dilontarkan orang-orang yang gemar berdoa di sisi kuburan, semuanya hanya seputar riwayat-riwayat yang tidak bisa dijadikan dalil atau qiyas yang bisa digunakan untuk menganjurkan sebuah ibadah. Dan mereka sebetulnya mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mengajarkan perbuatan demikian, dan Rasulullah pun tidak pernah mengerjakan perbuatan demikian padahal seharusnya beliau mengerjakannya andai memang ada keutamaannya. Kebiasaan mensyariatkan ibadah dengan dasar hikayat-hikayat serta qiyas-qiyas yang tidak benar dari para Nabi adalah kebiasaan kaum Nasrani atau yang semisal mereka. Sedangkan dalam Islam, yang bisa digunakan untuk menetapkan sebuah hukum adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta jalan yang ditempuh oleh generasi-generasi pertama umat Islam. Tidak boleh menentukan hukum syar’i tanpa didasari tiga pondasi ini, baik diambil secara nash atau istimbath dari sebuah kejadian”. [sampai di sini perkataan Syaikhul Islam]
Kemudian Syaikhul Islam Rahimahullah menjawab syubhat ini secara global dan juga rinci. Silakan lihat rinciannya pada kitab Al Iqtidha.
Beberapa catatan terkait pembahasan di atas:
- Tidak layak membolehkan tabarruk atau tawassul di kubur orang shalih dengan hujjah berupa pendapat Imam Adz Dzahabi, Asy Syaukani atau Ibnul Jauzi. Karena hujjah adalah Al Qur’an, As Sunnah dan pemahaman salafush shalih.
- Andai berhujjah dengan perkataan Asy Syaukani pun, pada umumnya, orang-orang yang gemar bertabarruk dan bertawassul dengan kuburan tidak memenuhi syarat yang beliau sampaikan.
- Yang dibicarakan dalam artikel di atas adalah tentang berdoa di sisi kuburan orang shalih, semisal Imam Al Bukhari. Sedangkan yang banyak dilakukan orang-orang di zaman ini, terutama di negeri kita, adalah bertabarruk dan bertawassul di kuburan orang yang tidak jelas keshalihannya, atau hanya dianggap shalih oleh para peziarahnya, atau kadang kuburan yang belum jelas penghuninya si Fulan atau bukan, atau bahkan terkadang kuburan ahli bid’ah, bahkan lebih parah lagi kuburan ahli maksiat pun didatangi.
- Riwayat janggal yang dinukil Imam Adz Dzahabi juga kami temukan di kitabnya yang lain Al Mu’jam Asy Syuyukh yang juga merupakan kitab biografi seperti As Siyar. Dan jawabannya pun sebagaimana jawaban di atas.
0 komentar:
Posting Komentar